20/04/2024

Warta5.com

cerdas mewartakan

G30S, Berpikir Historis dan Pendidikan Sejarah

3 min read

[ A+ ] /[ A- ]

Setiap tahun menjelang tanggal 30 September, beranda pemberitaan kita senantiasa diwarnai oleh polemik seputar Gerakan 30 September (G30S) atau yang disebut Presiden Soekarno sebagai Gerakan Satu Oktober (Gestok). Peristiwa sejarah itu sudah lama berlalu. Namun, trauma dan ingatan masyarakat sepertinya masih kuat terasa hingga polemiknya tidak pernah hilang. Sebagian besar polemik berkutat di seputar beberapa versi siapa dalang G30S.

Setidaknya ada lima teori mengenai hal ini. Pertama, teori yang menyatakan bahwa dalang G30S adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagaimana yang disampaikan Notosusanto dan Saleh (1968). Kedua, teori yang menyatakan bahwa badan intelijen Amerika Serikat (CIA) berperan besar dalam peristiwa ini sebagaimana yang disampaikan Oltsman (2001), Scott (2004) dan Wardaya (2006). Ketiga, teori yang menyatakan bahwa G30S adalah konflik internal Angkatan Darat (AD) sebagaimana yang disimpulkan oleh Anderson dan McVey (1971) dalam makalah merekan yang dikenal sebagai Cornell Paper. Keempat, teori yang menyatakan Soeharto di belakang peristiwa ini sebagaimana kesaksian Kolonel A. Latief (1999). Kelima, teori yang menyatakan Presiden Soekarno sendiri yang berada dibalik G30S untuk membersihkan jenderal-jenderal AD yang dianggap tidak loyal sebagaimana yang disampaikan Fic (2004) dan Dake (2006).

Tulisan ini tidak ingin ambil bagian dari polemik-polemik di atas. Namun, ingin memperlihatkan bahwa sistem pendidikan sejarah kita hanya mengajarkan (versi atau narasi) sejarah, namun tidak pernah mengajarkan cara berpikir historis (historical thinking). Hasilnya, mata pelajaran sejarah tidak menjadi mata pelajaran yang penting diajarkan di era informasi dan sosial media seperti saat ini. Padahal cara berpikir historis berpeluang besar menjadikan siswa menjadi analitis, kritis, imajinatif, penuh empati, dan memiliki rasa kebangsaan yang kuat.

Wineburg (1999) menyatakan bahwa para sejarawan, pengambil kebijakan, politikus, dan bahkan guru sejarah, terlalu disibukkan dalam perdebatan “Sejarah Yang Mana?” atau beragam versi sejarah. Tapi, lupa mengajarkan “Mengapa Belajar Sejarah Itu Penting?” Wineburg mengungkap bahwa dalam proses kognitif kita, memang tidak mudah membawa “masa lalu yang asing” (strange past) ke dalam kehidupan kita sekarang. Jika ini berhasil dilakukan, maka pembelajaran sejarah bisa menjadikan kita sebagai manusia yang lebih cerdas dan lebih baik yang hidup dalam perjalanan waktu. Mengerti sebuah peristiwa sejarah adalah pencapaian (achievement) sebab memahami dan berempati pada masa lalu bukan merupakan sebuah proses mental yang mudah dan natural.

Oleh karena itu, mengajarkan bagaimana seorang sejarawan bekerja, sehingga sampai kepada sebuah kesimpulan melalui berpikir historis (historical thinking) lebih penting dilakukan daripada mengajarkan berbagai versi peristiwa sejarah. Dalam hal ini para siswa diminta untuk “melakukan penelusuran atau penelitian sejarah” (doing history) daripada diminta hanya untuk sekedar mempelajari narasi-narasi sejarah yang sudah disimpulkan oleh para sejarawan.

Banyak model yang bisa diterapkan guru sejarah dalam implementasi cara berpikir historis di ruang kelas. Bain (2005) mencoba mengimplementasikan cara berpikir historis ini di kelas pelajaran sejarahnya dengan tiga konsep utama, yaitu mendeskripsikan bagaimana para sejarawan bisa sampai pada versi sejarah yang berbeda, mengajarkan siswa menggunakan sumber primer (primary sources) dan mendorong penalaran sejarah (historical reasoning).

Sedangkan, Martin (2012) menggunakan empat konsep utama, yaitu mengajarkan beberapa versi sejarah, suasana atau konteks saat peristiwa sejarah itu terjadi, fakta versus fiksi, dan hubungan yang kuat antara bukti dengan klaim. Kedua guru tersebut sama-sama menekankan bahwa dalam mencapai sebuah kesimpulan atas peristiwa yang terjadi di masa lalu, diperlukan cara berpikir analitis-kritis yang membedah sumber-sumber primer (yang hadir pada saat peristiwa sejarah terjadi), melihat mana yang fakta dan mana yang bukan, dan empati yang menyelami pikiran dan kondisi kejiwaan aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah peristiwa sejarah. Proses melakukan penelurusan sejarah (doing history) oleh para siswa telah membuat mereka “untuk mempertimbangkan apa yang mereka ketahui tentang sebuah peristiwa sejarah, bagaimana cara mereka mengetahuinya, dan bagaimana mereka bisa berargumentasi dalam mempertahankan kesimpulan sejarah yang telah mereka temukan.”

Hasil studi kedua guru di atas juga membuktikan bahwa dengan menuliskan hasil penelusuran sejarah mereka sendiri, para siswa menjadi lebih sering membaca dan menulis. Ini berhubungan dengan penguatan literasi siswa di kelas sejarah. Tentu saja, di era penyebaran berita palsu (hoaks) seperti saat ini, cara berpikir sejarah penting dan mendesak untuk diajarkan kepada para siswa. Mengajak para siswa untuk menjadi detektif sejarah yang akan mengungkap peristiwa-peristiwa penting di masa lalu merupakan sebuah petualangan yang mengasyikan. Kini saatnya pembuat kurikulum dan guru sejarah menggunakan metode berpikir historis dalam pembelajaran sejarah di kelas. Bukan justru malah menghapuskan mata pelajaran sejarah dari kurikulum sebagaimana rumor yang beredar dan telah dibantah oleh Mas Menteri Pendidikan.

Copyright © All rights reserved. | Newsphere by AF themes.